Selasa, 23 April 2013

Tugas Softskill: Hukum Perdata

Secara umum, pengertian hukum perdata lebih sering diidentikkan dengan kebalikan dari pengertian hukum pidana. Maksudnya jika hukum pidana  mengatur hubungan antara masyarakat dengan negara atau yang berkaitan dengan hukum publik, justru pengertian hukum perdata adalah sebaliknya yakni mengatur hubungan antara subyek hukum dalam masyarakat dan yang berkaitan dengan hukum privat. Hukum privat adalah hukum yang mengatur kepentingan perseorangan dalam masyarakat.

Hukum perdata dapat dibagi menjadi hukum perdata materil dan hukum perdata formil. Hukum perdata materil berkaitan dengan muatan atau materi yang diatur dalam hukum perdata itu sendiri, sedangkan hukum perdata formil adalah hukum yang berkaitan dengan proses perdata atau segala ketentuan yang mengatur mengenai bagaimana pelaksanaan penegakan hukum perdata itu sendiri, seperti melakukan gugatan di pengadilan. Hukum perdata formil juga dikenal dengan sebutan hukum acara perdata.

Hukum perdata yang berlaku di Indonesia adalah hukum perdata barat (Belanda) yang pada awalnya berinduk pada Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang aslinya berbahasa Belanda atau dikenal dengan Burgerlijk Wetboek dan biasa disingkat dengan BW. Sebagian materi BW sudah dicabut berlakunya dan sudah diganti dengan Undang-Undang RI, misalnya mengenai UU Perkawinan, UU Hak Tanggungan, dan UU Kepailitan. Kodifikasi KUH Perdata Indonesia diumumkan pada tanggal 30 April 1847 melalui Staatsblad No. 23 dan berlaku Januari 1848. Setelah Indonesia Merdeka, berdasarkan aturan Pasal 2 aturan peralihan Undang-Undang Dasar 1945, KUH Perdata Hindia Belanda tetap dinyatakan berlaku sebelum digantikan dengan Undang-Undang baru berdasarkan Undang–Undang Dasar ini. BW Hindia Belanda merupakan induk hukum perdata Indonesia.

Sumber

Tugas Softskill: Hukum Perjanjian

Menurut Pasal 1313 KUHPerdata Perjanjian adalah Perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. Dari peristiwa ini, timbullah suatu hubungan hukum  antara dua orang atau lebih yang disebut Perikatan yang di dalamya terdapat hak dan kewajiban masing-masing pihak. Perjanjian adalah sumber perikatan. 

A. Azas Hukum Perjanjian

Ada beberapa azas yang dapat ditemukan dalam Hukum Perjanjian, namun ada dua diantaranya yang merupakan azas terpenting dan karenanya perlu untuk diketahui, yaitu:
  • Azas Konsensualitas, yaitu bahwa suatu perjanjian dan perikatan yang timbul telah lahir sejak detik tercapainya kesepakatan, selama para pihak dalam perjanjian tidak menentukan lain. Azas ini sesuai dengan ketentuan Pasal 1320 KUH Perdata mengenai syarat-syarat sahnya perjanjian. 
  • Azas Kebebasan Berkontrak, yaitu bahwa para pihak dalam suatu perjanjian bebas untuk menentukan materi/isi dari perjanjian sepanjang tidak bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan dan kepatutan. Azas ini tercermin jelas  dalam Pasal 1338 KUH Perdata yang menyatakan bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah mengikat sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. 
 

B. Syarat Sahnya Perjanjian

Untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan 4 syarat, yaitu:
  1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya.
  2. Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian.
  3. Suatu hal tertentu.
  4. Suatu sebab yang halal.
Demikian menurut pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

Dua syarat yang pertama dinamakan syarat-syarat subjektif, karena mengenai orang-orangnya atau subjeknya yang mengadakan perjanjian, sedangkan dua syarat yang terakhir dinamakan syarat objektif, karena mengenai perjanjiannya sendiri atau objeknya dari perbuatan hukum yang dilakukan itu.

Dengan 'sepakat' atau juga 'perizinan' dimaksudkan bahwa kedua subjek yang mengadakan perjanjian yang diadakan itu. Apa yang dikehendaki oleh pihak yang satu adalah juga yang dikehendaki oleh pihak yang lain.

Orang yang membuat suatu perjanjian harus 'cakap' menurut hukum. Pada azasnya, setiap "orang yang sudah dewasa" dan "sehat pikirannya" adalah cakap menurut hukum. Dalam pasal 1330 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata disebutkan sebagai orang-orang yang tidak cakap untuk membuat suatu perjanjian:
  1. Orang-orang yang belum dewasa.
  2. Mereka yang ditaruh dibawah pengampunan.
  3. Orang-orang perempuan dalam hal-hal yang ditetapkan oleh undang-undang dan pada umumnya semua orang kepada siapa undang-undang telah melarang membuat perjanjian-perjanjian tertentu.

C. Bentuk Perjanjian

Perjanjian dapat berbentuk:
  • Lisan
  • Tulisan, dibagi 2, yaitu:
         -Di bawah tangan/onderhands
         -Otentik

D. Struktur Perjanjian

Struktur atau kerangka dari suatu perjanjian, pada umumnya terdiri dari:
  1. Judul/Kepala
  2. Komparisi yaitu berisi keterangan-keterangan mengenai para pihak atau atas permintaan siapa perjanjian itu dibuat.
  3. Keterangan pendahuluan dan uraian singkat mengenai maksud dari para pihak atau yang lazim dinamakan “premisse”.
  4. Isi/Batang Tubuh perjanjian itu sendiri, berupa syarat-syarat dan ketentuan-ketentuan dari perjanjian yang disetujui oleh pihak-pihak yang bersangkutan.
  5. Penutup dari Perjanjian.

Sumber
  1. Subekti, R, Prof, S.H. dan Tjitrosudibio, R, 2001, Kitab Undang Undang Hukum Perdata,  Cetakan ke-31, PT Pradnya Paramita, Jakarta.
  2. Subekti, R, Prof, S.H., Hukum Perjanjian, Cetakan ke-VIII, PT Intermasa.

Minggu, 14 April 2013

Tugas Softskill: Hukum Perikatan

Perikatan mempunyai arti yang lebih luas dari perkataan "perjanjian", sebab dalam perikatan diatur juga perihal hubungan hukum yang sama sekali tidak bersumber pada suatu persetujuan atau perjanjian, yaitu perihal perikatan yang timbul dari perbuatan yang melanggar hukum (onrechtmatige daad) dan perihal perkataan yang timbul dari pengurusan kepentingan orang lain yang tidak berdasarkan persetujuan (zaak waarneming).

Adapun yang dimaksud dengan "perikatan" adalah  suatu hubungan hukum (mengenai kekayaan harta benda) antara dua orang, yang memberi hak pada yang satu untuk menuntut barang sesuatu dari yang lainnya, sedangkan orang yang lainnya diwajibkan memenuhi tuntutan itu. Pihak yang berhak menuntut dinamakan pihak berpiutang atau kreditur, sedangkan pihak yang wajib memenuhi tuntutan dinamakan pihak berhutang atau debitur. Adapun barang sesuatu yang dapat dituntut dinamakan prestasi, yang menuntut undang-undang dapat berupa:
  1. Menyerahkan suatu barang
  2. Melakukan suatu perbuatan
  3. Tidak melakukan suatu perbuatan

Mengenai sumber-sumber perikatan, oleh undang-undang diterangkan, bahwa suatu perikatan dapat lahir dari suatu persetujuan (perjanjian) atau dari undang-undang. Perikatan yang lahir dari undang-undang dapat dibagi lagi atas perikatan-perikatan yang lahir dari undang-undang saja dan yang lahir dari undang-undang karena suatu perbuatan orang. Yang belakangan ini, dapat dibagi lagi atas perikatan-perikatan yang lahir dari suatu perbuatan yang diperbolehkan  dan yang lahir dari perbuatan yang berlawanan dengan hukum.

A. Hukum Perikatan Menurut Para Ahli

Pengertian mengenai hukum perikatan tidak diurai dalam Buku Ketiga BW atau yang lebih dikenal dengan sebutan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata). Untuk itu, mari kita lihat beberapa pengertian yang diberikan oleh para ahli terkait dengan pengertian hukum perikatan sebagai berikut:

  • Hukum perikatan menurut Pitlo adalah “suatu hubungan hukum yang bersifat harta kekayaan antara dua orang atau lebih, atas dasar mana pihak yang satu memiliki hak (kreditur) dan pihak yang lain memiliki kewajiban (debitur) atas suatu prestasi”.
  • Hukum perikatan menurut  Hofmann adalah “suatu hubungan hukum antara sejumlah terbatas subjek-subjek hukum sehubungan dengan itu seorang atau beberapa orang daripadanya mengikatkan dirinya untuk bersikap menurut cara-cara tertentu terhadap pihak yang lain, yang berhak atas sikap yang demikian itu.
  • Pengertian hukum perikatan yang umum digunakan dalam ilmu hukum adalah “suatu hubungan hukum mengenai kekayaan harta benda antara dua orang yang memberi hak kepada pihak yang satu untuk menuntut sesuatu barang dari pihak yang lainnya sedangkan pihak yang lainnya diwajibkan untuk memenuhi tuntutan tersebut. Pihak yang berhak menuntut adalah pihak yang berpihutang (kreditur) sedangkan pihak yang wajib memenuhi tuntutan dinamakan pihak berhutang (debitur) sementara barang atau sesuatu yang dapat dituntut disebut dengan prestasi”.

B. Unsur-Unsur dalam Hukum Perikatan

Berdasarkan pengertian yang telah diuraikan diatas maka dapat jelaskan lebih lanjut mengenai unsur-unsur yang terkandung dalam hukum perikatan atau terjadinya sebuah perikatan, sebagai berikut:
  • Unsur hubungan hukum dalam hukum perikatan
Yang dimaksud dengan unsur hubungan hukum dalam hukum perikatan adalah hubungan yang didalamnya melekat hak pada salah satu pihak dan pada pihak lainnya  melekat kewajiban. Hubungan hukum dalam hukum perikatan merupakan hubungan yang diakui dan diatur oleh hukum itu sendiri. Tentu saja antara hubungan hukum dan  hubungan sosial lainnya dalam kehidupan sehari-hari memiliki pengertian yang berbeda, oleh karena hubungan hukum juga memiliki akibat hukum apabila dilakukan pengingkaran terhadapnya.
  • Unsur kekayaan dalam hukum perikatan
Yang dimaksud dengan unsur kekayaan dalam hukum perikatan adalah kekayaan yang dimiliki oleh salah satu atau para pihak dalam sebuah perikatan. Hukum perikatan  itu sendiri merupakan bagian dari hukum harta kekayaan atau vermogensrecht dimana bagian lain dari hukum harta kekayaan  kita kenal dengan hukum benda.
  • Unsur pihak-pihak dalam hukum perikatan
Yang dimaksud dengan unsur pihak-pihak dalam hukum perikatan adalah pihak kreditur dan pihak debitur yang memiliki hubungan hukum. Pihak-pihak tersebut dalam hukum perikatan disebut sebagai subyek perikatan.
  • Unsur obyek hukum atau prestasi dalam hukum perikatan
Yang dimaksud dengan unsur obyek hukum atau prestasi dalam hukum perikatan adalah adanya obyek hukum atau prestasi yang diperikatkan sehingga melahirkan hubungan hukum. Dalam pasal 1234 KUH Perdata disebutkan bahwa wujud dari prestasi adalah memberi sesuatu, berbuat sesuatu dan tidak berbuat sesuatu.
  • Unsur Schuld dan Unsur Haftung dalam Hukum Perikatan
Yang dimaksud dengan unsur schuld dalam hukum perikatan adalah adanya hutang debitur kepada kreditur. Sedangkan yang dimaksud dengan unsur haftung dalam hukum perikatan adalah harta kekayaan yang dimiliki oleh debitur yang dipertanggungjawabkan bagi pelunasan hutang debitur.

Sumber:
http://elearning.gunadarma.ac.id/
http://statushukum.com

Minggu, 07 April 2013

Tugas Softskill: Hukum Pidana

A. Pengertian Hukum Pidana 

Hukum Pidana adalah hukum yang mengatur perbuatan-perbuatan apa yang dilarang dan memberikan hukuman bagi yang melanggarnya. Hukum pidana dapat diartikan sebagai suatu bagian dari keseluruhan norma hukum yang berlaku dalam suatu negara yang diadakan agar dapat dijadikan sebagai dasar /aturan untuk, antara lain:
Pertama : menentukan perbuatan yang mana yang boleh dilakukan dan perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan atau dilarang, dimana pengaturan tersebut disertai dengan ancaman sanksi  pidana tertentu bagi mereka yang melanggarnya;
Kedua : menentukan waktu dan kondisi (Kapan dan Dimana) seseorang yang telah melanggar peraturan tersebut dapat dikenakan pidana sebagaimana yang diancamkan kepadanya;
Ketiga : menentukan dengan bagaimana atau seperti apa sanksi pidana dapat atau akan dilaksanakan atau dikenakan kepada mereka yang telah disangka melakukan pelanggaran.
Dalam pelaksanaannya hukum pidana dibagi dalam beberapa kategori atau klasifikasi diantaranya adalah pembagian hukum pidana ke dalam hukum pidana materil atau hukum pidana yang berkaitan dengan muatan atau materi pengaturan suatu hukum atau ketentuan pidana dan hukum pidana formil atau hukum pidana yang berkaitan dengan hukum acara.

B. Tujuan Hukum Pidana

Secara konkrit tujuan hukum pidana itu ada dua, ialah :
• Untuk menakut-nakuti setiap orang jangan sampai melakukan perbuatan yang tidak baik.
• Untuk mendidik orang yang telah pernah melakukan perbuatan tidak baik menjadi baik dan dapat diterima kembali dalam kehidupan lingkunganya
Tujuan hukum pidana ini sebenarnya mengandung makna pencegahan terhadap gejala-gejala sosial yang kurang sehat di samping pengobatan bagi yang sudah terlanjur tidak berbuat baik. Jadi Hukum Pidana, ialah ketentuan-ketentuan yang mengatur dan membatasi tingkah laku manusia dalam meniadakan pelanggaran kepentingan umum. Tetapi kalau di dalam kehidupan ini masih ada manusia yang melakukan perbuatan tidak baik yang kadang-kadang merusak lingkungan hidup manusia lain, sebenarnya sebagai akibat dari moralitas individu itu. Dan untuk mengetahui sebab-sebab timbulnya suatu perbuatan yang tidak baik itu(sebagai pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan pidana), maka dipelajari oleh “kriminologi”.
Di dalam kriminologi itulah akan diteliti mengapa sampai seseorang melakukan suatu tindakan tertentu yang tidak sesuai dengan kebutuhan hidup sosial. Di samping itu juga ada ilmu lain yang membantu hukum pidana, yaitu ilmu Psikologi. Jadi, kriminologi sebagai salah satu ilmu yang membantu hukum pidana bertugas mempelajari sebab-sebab seseorang melakukan perbuatan pidana, apa motivasinya, bagaimana akibatnya dan tindakan apa yang dapat dilakukan untuk meniadakan perbuatan itu.

C. Klasifikasi Hukum Pidana

Secara substansial atau Ius Poenalle ini merupakan hukum pidana
Dalam arti obyektif yaitu “sejumlah peraturan yang mengandung larangan-larangan atau keharusan-keharusan dimana terhadap pelanggarnya diancam dengan hukuman”. Hukum Pidana terbagi menjadi dua cabang utama, yaitu:
• Hukum Materil ialah cabang Hukum Pidana yang menentukan perbuatan-perbuatan kriminal yang dilarang oleh Undang-Undang, dan hukuman-hukuman yang ditetapkan bagi yang melakukannya. Cabang yang merupakan bagian dari Hukum Publik ini mepunyai keterkaitan dengan cabang Ilmu Hukum Pidana lainnya, seperti Hukum Acara Pidana, Ilmu Kriminologi dan lain sebagainya.
• Hukum Formil (Hukum Acara Pidana) Untuk tegaknya hukum materiil diperlukan hukum acara. Hukum acara merupakan ketentuan yang mengatur bagaimana cara agar hukum (materil) itu terwujud atau dapat diterapkan/dilaksanakan kepada subyek yang memenuhi perbuatannya. Tanpa hukum acara maka tidak ada manfaat hukum materiil. Untuk menegakkan ketentuan hukum pidana diperlukan hukum acara pidana, untuk hukum perdata maka ada hukum acara perdata. Hukum acara ini harus dikuasai para praktisi hukum, polisi, jaksa, pengacara, hakim.

 D. Hukum Pidana Indonesia

Hukum pidana di Indonesia dikodifikasikan dalam buku KUHPidana (Kitab Undang-undang Hukum Pidana). Sama halnya dengan KUHPerdata, KUHPidana juga bukanlah merupakan buatan asli Indonesia. KUHPidana berasal dari WvS (Wetboek van Strafrecht), dari Negara Belanda. Konsep WvS berasal dari Code Penal buatan Prancis. Begitu juga dengan Code Penal yang konsepnya sebenarnya berasal dari Kerajaan Romawi, yaitu Corpus Iuris Penal.
Perbuatan / tindak / delik pidana adalah perbuatan yang bila dilakukan dapat dikenakan hukuman dan atau sanksi berupa hukuman.
Sistematika KUHPidana:
Buku I : Aturan-aturan umum (Pasal 1-103)
Buku II : Kejahatan (Pasal 104-488)
Buku III : Pelanggaran (489-569)

Sumber:
http://belajarhukumindonesia.blogspot.com
http://statushukum.com
http://suflasaint.blogspot.com